Menghadapi situasi krisis seperti
saat ini, tidak sedikit orang yang justru tersadar, kemudian kembali ke jalan
agama. Mereka yang selama ini tidak pernah menginjakkan kakinya di masjid,
tiba-tiba rajin melaksanakan shalat. Mereka baru mengerti bahwa ada kekuatan di
luar dirinya yang membolak-balikkan suasana semau-Nya.
Sebaliknya, ada sebagian orang yang
justru frustrasi kemudian lari dari agama. Bahkan yang biasanya rajin
melaksanakan berbagai amalan ibadah, tiba-tiba malas-malasan. Sedikit demi
sedikit beberapa amalan ditinggalkan hingga suatu ketika semua amal ibadah
telah terlupakan. Mereka merasa seluruh amal ibadahnya sia-sia, sebab tidak
memperoleh apa-apa kecuali kebangkrutan usaha.
Jika kita datangi tempat-tempat
maksiat, satu atau beberapa di antara pelakunya mungkin mantan santri. Ada-ada
saja orang yang asalnya baik menjadi jahat. Orang shaleh menjadi thaleh.
Sebaliknya jika ke masjid, kita
dapati beberapa di antara mereka mantan-mantan ahli maksiat. Berbagai macam
pengalaman telah mengantarkan mereka sampai ke jalan Tuhan. Ada yang karena
dililit utang, ada yang telah sampai pada puncak kemaksiatan. Motif beragama
memang beragam, meskipun dalam praktek ibadahnya harus seragam. Keberagaman itu
bisa dibuktikan hanya dengan bertanya kepada orang yang habis melaksanakan
shalat tentang maksud dan tujuan ibadahnya. Ternyata jawabannya tidak sama.
Ali Bin Abi Thalib karramallahu
wajhah membagi amalan ibadah kaum muslimin ke dalam tiga katagori. Pertama,
golongan orang yang beribadah karena mengharapkan sesuatu dari Allah swt. Ia
beribadah karena pamrih. Golongan itu dikatagorikan sebagai ibadatut-tujjaar,
ibadahnya pedagang. Dalam prinsip ekonomi, seseorang melakukan usaha
dimaksudkan untuk mendapatkan untung. Jika perlu dengan pengorbanan yang
sedikit mendapatkan hasil yang banyak. Demikian pula dalam hal ibadah, mereka
pilih-pilih di antara ibadah yang paling banyak mendatangkan keuntungan.
Itulah sebabnya mereka tampak sibuk
menghitung-hitung amalan ibadahnya. Dibawanya tasbih ke mana-mana, diputar
sambil komat-kamit hingga berhenti sampai hitungan tertentu. Ketika ditanya
kenapa berhenti berdzikir, ia menjawab, berdasarkan hitungan ia telah membaca
seribu kali. Jika sekali membaca diberi ganjaran sepuluh, maka ia telah
mendapatkan pahala sebanyak sepuluh ribu. Suatu keuntungan yang bisa ditabung
untuk hari itu.
Ibadah macam ini bukannya tidak
diperbolehkan, tapi nilainya amat rendah. Allah sendiri dalam berbagai ayat-Nya
telah memotivasi ummat Islam agar gemar melaksanakan ibadah dengan iming-iming
pahala yang banyak. Di antaranya adalah surga. Beribadah dengan mengharapkan
surga itu hal yang lumrah. Salah satu contohnya Allah berfirman:
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS an-Nisaa: 122)
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shaleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS an-Nisaa: 122)
Iming-iming surga itulah yang
diberikan Allah untuk mendorong semangat hamba-Nya. Sementara janji Allah pasti
akan ditepati-Nya.
Masalahnya kemudian adalah bahwa
pahala itu tidak langsung diterima pada saat seseorang melakukan suatu amalan
ibadah, melainkan disimpan untuk kehidupan di akhirat. Penundaan ini menjadikan
banyak orang tidak sabar. Maunya cepat menikmati. Karenanya kemudian banyak
orang jadi enggan atau bermalas-malasan melakukan ibadah. Mereka merasa bahwa
pahala itu kurang riil, tidak cash,
dan waktu pengambilannya teralu lama.
Golongan ibadatut-tujjar ini tampak kurang konsisten dalam beribadah. Ada
pasang surut sesuai dengan kondisi kantungnya. Jika kantongnya tebal, ia rajin
shalat dan ibadah lainnya. Tapi jika kantongnya lagi kosong, iapun tak segan
meninggalkannya.
Kategori kedua dari orang yang
beribadah adalah mereka yang menjalankan rangkaian ibadah karena takut siksa
Allah. Karenanya mereka dikelompokkan Ali ra sebagai 'ibadatul-'abid (ibadahnya
seorang budak). Seorang budak mempunyai mental yang khas, yaitu ia baru bekerja
atau melakukan sesuatu jika disuruh dan disertai ancaman. Ia merasa bahwa hasil
dari amalannya itu bukan untuk dirinya.
Seorang budak baru mau bekerja jika
ada "upah". Jika upahnya besar, ia rajin. Sebaliknya jika upahnya biasa-biasa
saja, ia cenderung bermalas-malasan. Bagi budak seperti ini kecenderungannya
memilih yang wajib-wajib saja, sedangkan yang sunnah dikurangi.
Lagi-lagi ibadah seperti seorang
budak tidak menjadi soal, boleh-boleh saja. Asal ibadahnya ikhlas semata-mata
karena Allah, pasti diterima. Jika ia minta balasan surga, Allah akan
memberinya. Jika ia ingin lepas dari siksa neraka, Allah juga mengabulkannya.
Beribadah seperti pedagang atau seperti seorang budak bagi Allah tidak jadi
soal. Yang dipersoalkan-Nya adalah niat yang ikhlas lillahi ta'ala. Sedikit
saja ada noda yang mengotori niat ini, ibadahnya akan menjadi cacat. Bisa jadi
tidak diterima.
Dari dua katagori di atas, ada
sekelompok orang yang beribadah bukan karena menginginkan surga atau pahala,
juga bukan karena takut ancaman Allah berupa siksa nereka. Kelompok ini
beribadah kepada Allah semata-mata karena rasa syukurnya. Jika kepada mereka
ditanyakan, seandainya tidak ada surga dan neraka, apakah tetap akan beribadah,
dengan suara mantap mereka akan menjawab: Ya, saya akan tetap beribadah.
Jika dikejar dengan pertanyaan apa
gunanya, orang tersebut tentu akan balik bertanya, 'Bukankah saya patut
bersyukur telah dijadikan Allah sebagai manusia, makhluq yang paling mulia?
Bukankah pantas bagi saya bersyukur kepada Allah yang telah memberi saya akal
dan fikiran yang sehat? Bukankah wajar bagi saya bersyukur kepada Allah yang
telah memberi hidayah sehingga saya menjadi seorang mukmin?'
Andaikata kita bersabar menunggu
orang tersebut berbicara, tentu ia akan melanjutkan, 'Seandainya Allah
memerintahkan saya beribadah sehari penuh, tentu saya akan melaksanakannya.
Jangankan shalat yang hanya lima kali sehari, jangankan puasa yang hanya
sebulan dalam setahun, jangankan zakat yang hanya mengeluarkan sebagian kecil
dari harta yang telah diberikan Allah, jangankan haji yang wajib sekali seumur
hidup. Andaikata semua umur harus dihabis untuk beribadah, tentu akan saya
jalani.'
Suatu malam 'Aisyah melihat
suaminya, Rasulullah saw sedang asyik menjalankan shalat malam. Lama sekali
beliau berdiri, ruku' dan sujud. Manakala beliau berdo'a bergemuruh dari dalam
dadanya, bergetar seluruh badannya, dan tumpah seluruh air matanya. Malam itu
Rasulullah benar-benar tenggelam dalam munajat kepada Allah swt. Melihat hal
itu 'Aisyah merasa iba, kemudian bertanya, 'Wahai, bukankah Anda seorang Rasul,
kekasih Allah? Bukankah Anda seorang yang ma'shum, yang dihindarkan dari
berbuat salah dan dosa? Bukankah Anda seorang yang segala doanya dikabulkan
oleh Allah? Jika demikian, kenapa Anda bersusah-payah berdiri di malam hari
sampai kakinya bengkak, menangis hingga matanya sembab?'
Rasulullah hanya menjawab pendek,
'Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?'
Kualitas ibadah yang dijalani
seseorang yang didorong oleh rasa syukurnya tentu sangat berbeda dengan
kualitas ibadahnya bisnismen atau budak. Jika pebisnis beribadah sangat
tergantung pada tebal tipisnya kantong, maka ibadahnya orang yang bersyukur
tidak kenal situasi. Dalam segala kondisi, baik sedang sedih atau gembira,
susah atau mudah, ia tetap menjalankan ibadah.
Mutu ibadahnya seorang budak sangat
tergantung pada besar kecilnya upah, berat ringannya ancaman siksa, tapi bagi
seorang yang beribadah didorong oleh manifestasi syukurnya, hal itu tidak
menjadi masalah. Tanpa upah sedikitpun, ia tetap beribadah. Bahkan andaikata ia
ditetapkan masuk neraka, ia tetap beribadah.
Seorang sufi besar pernah
menyampaikan doanya kepada Allah swt. Ia mohon agar ditempatkan di neraka,
kemudian tubuhnya dibesarkan sampai memenuhi seluruh isi neraka. Dengan begitu,
katanya semua orang bebas dari siksa neraka.
Mungkin kita berkata, sufi itu
aneh-aneh saja. Akan tetapi jika kita renungi artinya sungguh luar biasa. Ia
rela berkorban demi kebahagiaan ummat manusia.
Sufi yang lain pernah bermunajat
kepada Rabb-nya. Ia berkata, 'Ya Allah, sekiranya Engkau masukkan aku ke dalam
nerakamu itu tidak masalah asal ridha-Mu tetap menyertaiku.'
Bagi orang yang sudah pada
tingkatan ini, permintaannya hanya satu, ridha Allah semata-mata. Tentang akan ditempatkan
di mana, surga atau neraka itu tidak menjadi soal. Bukankah ia juga yakin bahwa
Allah itu Maha Kasih dan Sayang. Tentu Allah tidak akan menempatkan kekasih
yang diridhai-Nya di tempat yang menyengsarakannya. Mereka akan dikumpulkan
bersama orang-orang yang diridhai di dalam satu tempat yang diridhai, yaitu
surga. Kepada mereka, Allah berseru:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr: 27-30)·
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS al-Fajr: 27-30)·
0 comments:
Post a Comment