Ponorogo, Negeri Pembenci Islam yang Kini Menjadi Pusat Peradaban Keilmuan Islam.
Siapa yang tidak mengenal Gontor? sebuah pondok pesantren modern pertama dan terbesar di dunia. Ya, pondok dengan nama Darussalam ini merupakan yang pertama kalinya yang menerapkan bahasa asing (inggris, arab) dalam pembelajarannya, bahkan akan di tambahkan bahasa mandarin.
Pesantren Darussalam yang berpusat di desa Gontor, Kecamatan Mlarak ini memiliki 14 cabang pondok modern baik putra dan putri yang tersebar di pulau-pulau besar, jadi tidak salah bila dunia pendidikan internasional memberi pengakuan kepada Darussalam lembaga pendidikan terbesar di dunia yang pernah ada dengan manajemen yang transparan.
Menjadi pusat peradaban islam untuk para santri sebelum menimba ilmu ke Kairo, Mesir. bahkan pada awalnya bukan yang hal mudah untuk Darussalam di Gontor, bagaimana tidak? sebelumya Islam di ponorogo di tolak mentah-mentah oleh penguasa ponorogo kala itu.
Warok ki ageng surya alam yang beragama budha dari desa kutu, Kecamatan Jetis yang merupakan pejabat demang provinsi wengker yang berada di bawah naungan Majapahit melihat sang raja Brawijaya V dalam tata negara terdapat campur tangan dari seorang istrinya dari campa yang beragama islam.
Gagal panen, paceklik, perampokan terjadi dimana-mana namun tidak ada tindakan lebih lanjut dari pemerintahan pusat majapahit hingga terjadinya perang berkali-kali namun tetap di menangkan pihak ki ageng kutu, hingga pada kerajaan majapahit berkerjasama dengan kesultanan demak serta melucuti senjata ki agneg kutu lah kemenangan berada di kedua kerajaan tersebut.
menurut cerita, dari seluruh tanah jawa yang berhasil di islamkan oleh jejak wali songo, hanya wilayah wengker yang belum tersentuh oleh agama islam, tidak diketahui secara pasti. karena sunan kali jaga sebelum masuk islam adalah warok luka jaya yang satu perguruan warok ki surya alam, hanya saja luka jaya menjadi pembelot majapahit dengan cara merampok gudang-gudang majaahit sedangkan surya alam menjadi pro majapahit.
Kembali ke Gontor, dalam sejarahnya tidak lepas dari pesantren Tegalsari yg di asuh Kyai Ageng Khasan Besari. bahkan dalam lingkup desa Gontor masih mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok (LGBT). Bahkan para petinggi ustad Gontor menyerukan untuk meninggalkan tradisi tersebut kepada warok-warok dengan dalil yang ada pada islam, hingga berangsurnya dan sadar di gantilah jathil pria menjadi jathil perempuan.
mungkin hal seperti diatas, pesantren Darussalam terkadang hanya mencamtum alamat "Gontor, Jawa timur" atau "Gontor, Indonesia" saja pada publikasi media tanpa memberi embel-embel ponorogo, bahkan orang ponorogo sendiri bingung, apa benar pesantren yang tersohor berada di kota reog? karena gontor termasuk salah satu desa di pedalaman ponorogo.
Meski biaya pendidikan di Gontor termasuk kategori murah, namun bagi warga ponorogo sendiri masih terbilang sulit. wajar saja karena pendapatan warga ponorogo masih banyak di bawah minimum di bandingkan kota-kota lain lebih tinggi yang sebagaian besar menjadi santri Gontor.
namun, kenyataanya di lapangan banyak alumni pesantren Gontor pusat yang gemar mengenakan pakaian warok, ya dari kombor hingga penadonnya orang ponorogo.
Namun dengan perjalanan dan perjuangan dari waktu ke waktu menjadikan desa Gontor menjadi sebuah Pondok Pesantren yang Mendunia, dengan santri dan santriwati berjumlah ribuan yang berasal dari pelosok nusantara bahkan juga banyak dari Luar Negeri yang memang sengaja menjadikan Gontor sebagai tujuan pendidikan.
aktivitas santri di Gontor pusat pernah di abadikan santrinya bernama ahmad fuadi dalam bentuk Novel dan Filmovie dengan mantra yang di dapat "Man Jadda Wajada" serta beberapa film indie dari berbagai kota.
"Berdiri diatas untuk semua golongan" tidak peduli kamu ponorogo, jawa, madura, melayu, bali, bugis, papua, dayak, manggarai, sunda, indonesia, malaysia, eropa, china, jepang maupun kamu Muhammadiyah ataupun Nahdlatul Ulama.
masuk menjadi santri Gontor mudah-mudah sulit, karena akan terdapat tes seleksi sebagai persyaratan masuk yang diikuti banyak calon santri/santriwati. dari seluruh peserta, biasanya yang terpilih hanya sekitar 10-20% pendaftar, artinya sangat banyak minat calon santri yang berkeinginan menimba ilmu di Gontor.
Ada terdapat kisah, Suatu ketika terdapat beberapa mahasiswa S2 yang sudah berumur baru bertemu di altar orang ponorogo yang tinggal di kota perantauan sedang menjemur berbagai topeng Reyog dan membersihkan sepeda tuanya di halaman sehingga terjadi percakapan kecil.
A: "kalau lihat topeng itu, ingat ponorogo. semua topengnya di gigit itu"
B: "aku baru tahu kalau seluruh topengnya di gigit, sangat berat. kalau lihat sepeda tuanya mengingatkanku saat di Gontor"
C: "Hahaha yang bawa sepeda hanya senior, yang punya kuasa"
D: "iya, angkuh banget kalo pake sepeda, tapi kalau udah ngumpul bersama ya biasa aja, begitulah kalu punya jabatan ahaha"
C: "Sekarang baru tahu, kenapa ponorog selalu maju dalam budaya dan agamanya, ternyata orang-orang ponorogo tidak lupa dan suka mewarisi dan melestarikan sesuatu dari leluhurnya, seperti jepang"
B: kamu mondok di Gontor?
dan seketika A, C dan D menjawab dengan kompak " Iya... hahaha"
secara tidak sengaja, alumni Gontor pusat ini bertemu, meski beda angkatan.
Diantara alumni Gontor yang banyak dikenal ialah,
Abdurrahman Mohammad Fachir, Dr. Wakil (Menteri Luar Negeri RI)
Abu Bakar Baasyir, Ust. (Pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Solo)
Adnan Pandu Praja (Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi)
Ahmad Cholil Ridwan, K.H. (Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyyah)
Aflatun Muchtar, Prof. (Rektor UIN Raden Fatah Palembang)
Ahmad Fuadi (Jurnalis, Novelis)
Ahmad Khairuddin, Prof. (Ketua Pimpinan Muhammadiyyah Kalimantan Selatan)
Ahmad Luthfi Fathullah, Dr. (Direktur Kajian Hadis)
Ahmad Satori Ismail, Prof. (Ketua Ikatan Dai Indonesia)
Anwar Sadeli Karim, K.H. (Ketua Umum Mathlaul Anwar)
Amal Fathullah Zarkasyi, Prof. (Rektor Universitas Darussalam Gontor)
Amsal Bachtiar, Prof. (Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam Kemenag RI)
Azhar Arsyad, Prof. (Mantan Rektor UIN Alauddin Makassar)
Dedi Djubaedi, Prof. (Mantan Rektor IAIN Ambon)
Didin Sirojudin AR (Kaligrafer Internasional, Pimpinan Pesantren Kaligrafi Al-Quranl)
Din Syamsuddin, Prof. (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia)
Eka Putra Wirman, Dr. (Rektor IAIN Imam Bonjol Padang)
Emha Ainun Nadjib (Budayawan)
Hasanain Juaini, Tgk. (Penerima Magsaysay Award)
Hasbi Hasan, Dr. (Ketua Pembinaan Administrasi Peradilan Mahkamah Agung RI)
Hasyim Muzadi, Dr. K.H. (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Mantan Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama)
Hidayat Nur Wahid, Dr. (Wakil Ketua MPR RI, Mantan Ketua MPR RI)
Idham Chalid, Dr. (Mantan Wakil Perdana Menteri RI, Pahlawan Nasional)
Idris Abdul Shomad, Dr. (Walikota Depok Periode 2016–2020)
Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI)
Husnan Bey Fananie, Dr. (Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan)
M. Amin Abdullah, Prof. (Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
M. Ennis Anwar, Dr. (Ketua Umum Al-Ittihadiyyah)
M. Hawin, Prof. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
Muchlis M. Hanafi, Dr. (Direktur Lajnah Pentashihah Al-Quran Kemenag RI)
Muhammad Muzammil Basyuni, (Mantan Duta Besar Indonesia untuk Suriah)
Muhtarom HM, Prof. (Rektor Universitas Nahdhatul Ulama Jepara)
Mushtofa Taufik Abdul Latif, (Duta Besar Indonesia untuk Oman)
Nurcholis Madjid, Prof. (Cendekiawan Muslim)
Roem Rowi, Prof. (Mantan Ketua MUI Jawa Timur)
Syahrul Mamma, Dr Irjen. Pol. (Wakil Kabareskim Polri)
Suhaeli Kalla, (Pengusaha, adik Yusuf Kalla)
Susiknan Azhari, Prof. (Direktur Museum Astronomi Islam)
Wahib Abdul Jawad, (Mantan Duta Besar Indonesia untuk Suriah)
Yudi Latief, Dr. (Direktur Reform Institute)
Zulkifli Muhadli, Dr. (Mantan Bupati Sumbawa Barat)
0 comments:
Post a Comment